Tulisan tertua yang menyebut nama Surabaya adalah Prasasti Trowulan I, berangka tahun Saka 1280 atau 1358 Masehi, yang mencantumkan sederet nama-nama tempat penambangan penting sepanjang Sungai Brantas, antara lain tertulis: “ … i trung, i kambangan çri, i tda, i gsang, i bukul, i çūrabhaya, muwah prakāraning naditira pradeça sthananing anāmbangi i madantĕn …”, yang artinya: “ … (di) Terung, Kambangan Sri (= Kebangsari sekarang?), Teda, Gesang, Surabaya, demikian pula halnya desa-desa tepian sungai tempat penyebarangan (seperti) Madanten …”.
“Nāgarakrtāgama”, yang ditulis oleh Empu Prapanca di abad XV, juga menyebut-nyebut nama Surabaya dalam rangkaian kalimat berikut: “ … yan ring janggala lot sabhā nrpati ring surabhaya manulus mare buwun”. Artinya: “ … kalau di Jenggala Baginda selalu singgah di Surabaya, (lalu) meneruskan ke Buwun.”
Ternyata asal-usul nama “Surabaya” memancing banyak ragam tafsiran. Ada yang menganggapnya sebagai suatu tonggak peringatan terjadinya sesuatu peristiwa sejarah yang penting. Tetapi ada juga yang menghubungkannya dengan sebuah fabel (dongeng binatang), yang mengisahkan pertarungan antara seekor ikan “sura” dan seekor “buaya”. Dari kata-kata “sura” dan “buaya” (dalam bahasa Jawa, “baya”) terbentuklah nama “Surabaya”.
Tentang fabel itu sendiri terdapat pula perbedaan pendapat. Ada yang menganggapnya tidak lebih daripada sebuah dongengan belaka, yang lahir dari khayalan seorang pendongeng. Tetapi ada pula yang menganggapnya sebagai cerita kiasan, yang melambangkan sesuatu peristiwa sejarah, yang lain lagi menganggapnya sebagai sebuah mitos alam.
Dengan contoh-contoh itu saja sudah Nampak betapa simpang siurnya masalah asal-usul nama Surabaya. Belum lagi adanya beberapa versi cerita yang berbeda-beda. Namun justru karena perbedaan-perbedaan itu malahan menarik sekali bagi seorang peneliti yang ingin mengkaji latar belakang sejarah terjadinya Kota Surabaya.
Heyting, misalnya, dalam “Oudheidkundig Verslag 1923”, telah memaparkan pendapatnya, bahwa Surabaya berasal dari suatu peristiwa pemberontakan seorang kelana bernama Bhaya terhadap Kerajaan Singasari di bawah pemerintahan Kertanagara. Peristiwa itu tercatat dalam “Nāgarakrtāgama”, “Pararaton”, dan “Kidung Panji Wiajayakrama”. Meskipun ketiga bacaan tersebut berbeda-beda menyebutkan nama pemberontaknya, yaitu: “Nāgarakrtāgama” menyebut cayaraja, “Pararaton”, kalana aran bhaya, dan “Panji Wiajayakrama” bhayangkara, tetapi tentang waktu terjadinya pemberontakan itu boleh dikatakan tidak terdapat selisih yang jauh, dan pasti sebelum pengiriman ekspedisi Pamalayu oleh Krtnagara di tahun 1275.
Tentang nama cayaraja yang disebut oleh “Nāgarakrtāgama”, oleh Heyting dibaca: bhayaraja, dengan alasan, bahwa dalam tulisan Jawa Kuno, aksara ca dan bha hampir serupa. Dengan demikian Heyting menemukan nama-nama yang serupa: bhaya (raja), (kalana) bhaya, dan bhaya (ngkara), dan menyimpulkan bahwa ketiga-tiganya identik.
Arti kalana adalah raksasa, atau yang juga disebut asura. Adalah menjadi kelaziman raja-raja Jawa-Hindu menyebut lawan mereka dengan sebutan kalana, raksasa, atau asura. Alhasil, kalana aran bhaya adalah pula kalana bhaya atau asura bhaya. Dalam pada itu kalana sering pula digunakan sebagai nama raja. Sebagai contoh dikemukakan oleh Heyting, seorang raja Kamboja yang dalam “Serat Kandha” dinamakan Kalana Mahesa Sasi. Dalam akhir kesimpulannya Heyting menulis sebagai berikut:
… Bagaimanapun juga, baik Bhaya yang dibinasakan oleh Krtanagara maupun Kalana Bhaya (Asura Bhaya), menggambarkan nama Surabaya dalam hubungannya dengan “kalana” atau “raja” Bhaya. Sebelum zaman Bhaya, nama Surabhaya belum dikenal, yaitu sebelum kira-kira tahun Saka 1192 (atau 1270 Masehi).
Dalam bukunya “Er werd een stad geboren” (1953), Von Faber mengambil alih pendapat Heyting tersebut, tetapi dihubungkannya dengan dongeng ikan sura dan buaya yang tersebut di muka, dan memperoleh kesimpulan, bahwa buaya merupakan sebuah simbolisasi dari Bhaya, sedang prajurit Krtanagara yang gagah berani yang melawan Bhaya tersebut dinamakan sura dalam arti berani. Itulah sebabnya, maka Surabaya sering disebut pula sura-ing-baya (berani dalam bahaya, Belanda dapper in gevaar). Jadi menurut Von Faber, kata sura bukan berasal dari asura (sinonim kata kalana) seperti pendapat Heyting, melainkan sura dalam arti berani, dalam hal ini yang dimaksud sifat keberanian prajurit Krtanagara yang melawan Bhaya.
Tetapi semboyan sura-ing-baya mendapat tafsiran lain dari seorang Belanda bernama C.V., termuat dalam “Bataviaasch Handelsblad” sekitar tahun 1880, jadi jauh lebih tua daripada pendapat Heyting dan Von Faber, demikian:
Selama perang melawan Surapati, bekas seorang budak berasal dari Bali, bernama si Untung, yang telah berhasil menjadi raja yang berdaulat di Jawa Timur, bertahun-tahun dapat mempertahankan kedaulatannya terhadap Kumpeni (VOC) dan Kerajaan Mataram, pihak Kumpeni telah mendirikan sebuah benteng pertahanan di daerah tempat Kali Mas dan Kali Pegirian bertemu, untuk menangkis serangan-serangan gerombolan Surapati (Untung) tersebut, yang dapat digagalkan.
Hasil gemilang terhadap musuh yang menakutkan itu, menimbulkan gagasan untuk menamakan benteng tersebut, sura ing baya, yang berarti berani menghadapi bahaya, berasal dari kata syura (pahlawan) dan bhaya (menakutkan atau bahaya).
Betapa tidak logisnya tafsiran C.V. tersebut dapat dikemukan di sini, bahwa jauh sebelum Untung Surapati atau Kumpeni lahir, Surabaya sudah ada lebih dulu atas dasar Prasasti Trowulan I dan “Nāgarakrtāgama” (abad XIV). Surapati hidup akhir abad XVII awal XVIII (gugur tahun 1705).
Juga karena anakronisme, tidak logis tafsiran J. Hageman yang menyatakan, bahwa tempat yang sekarang bernama Surabaya itu, pada zaman Hindu bernama Ngampel Dhenta, dan oleh raja Jawa-Hindu terakhir dihadiahkan kepada seorang pemuka Islam bernama Raden Rahmat (Susuhunan Ngampel). Penyerahan ini disaksikan oleh pejabat-pejabat Jawa yang beragama Islam, dan dari sinilah kemudian dicetuskan rencana untuk memerangi dan merebut Majapahit. Setelah kerajaan Jawa-Hindu yang besar itu runtuh (tahun 1483), maka berkumpullah orang-orang Islam yang menang itu di Ngampel Dhenta. Karena nama ini membawa noda yang berbau Hinduisme, demikian Hageman, maka nama itu lalu diubah menjadi “Surabaya”, atau “Negara Surabaya” (tempat bagi yang jaya). Adapun dongeng tentang ikan dan buaya itu sendiri, Hageman menganggapnya omong kosong belaka.
Senada dengan pernyataan Hageman terakhir tersebut adalah pendapat Ki Sugerman Atmodihardjo, yang menganggap dongeng tentang pertarungan ikan sura dan buaya sebagai suatu hal yang mengandung pengertian statis, tidak berpengaruh terhadap pendidikan kepratiotikan bangsa yang revolusioner, bahkan sebaliknya mematikan semangat kepahlawanan arek-arek Surabaya terutama. Lain halnya kalau Surabaya diartikan “berani mengatasi kesulitan” (Jawa, “wani ing kewuh”).
Profesor Dr. P.J. Veth pun beranggapan demikian. “Dalam bahasa Jawa”, demikian tulisnya, “kota ini mempunyai beberapa nama sinonim: Surabaya, Surapringga, Surabanggi, Surawesthi. Kata sura yang berulang kali tampil dalam nama-nama sinonim tersebut, rupanya mengungkapkan pengertian kepahlawanan atau keberanian, sedang kata-kata baya, pringga, banggi, dan westhi mempunyai arti bahaya atau kesulitan”.
Veth menulis pendapatnya itu dalam sanggahannya terhadap anggapan geolog Belanda yang menyatakan, bahwa nama Surabaya itu berasal dari nama Portugis: sura bahia, yang berarti pelabuhan yang aman. “Kalau demikian seharusnya disebut segura bayia”, tukas Prof. Veth.
Dari kumpulan pendapat di atas, dapat kita lihat, bahwa semua menghubungkan istilah “Surabaya” dengan pengertian “keberanian” dan “bahaya”, lepas dari tafsiran masing-masing akan motivasinya, kecuali Heyting. Heyting dalam mengargumentasikan sura berasal dari asura (kalana, raksasa), memang tidak dapat kita terima. Sebab, pertama sura dan asura merupakan dua pengertian yang berlawanan, jadi tidak identik. Kedua, ejaan asli (Jawa Kuna) untuk Surabaya adalah Çūrabhaya, sehingga konsekuensinya, untuk asura (kalana, raksasa) Heyting harus mengejanya açūra, tetapi ini ejaan yang salah.
Jadi jelaslah, bahwa secara etimologis nama “Surabaya” atau tepatnya “Çūrabhaya” mengandung atau mengungkapkan pengertian “keberanian” atau “kepahlawanan”, dan “bahaya”. Masalahnya sekarang ialah kapan waktunya, dan apa motivasinya, maka nama yang mengandung pengertian “keberanian atau kepahlawanan” dan “bahaya” tersebut digunakan.
Menarik dalam hal ini keputusan Pemerintah Kotamadya Surabaya, yang telah menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai hari jadi Kota Surabaya. Penetapan tanggal tersebut mengambil dasar teori Heru Sukadri selaku anggota Tim Peneliti Hari Jadi Kota Surabaya, yaitu mengambil hari bersejarah ketika Raden Wijaya berhasil mengusir balatentara Tartar, utusan Kaisar Mongolia Kubilai Khan, dari bumi Jawa melalui kota pelabuhan samudera Hujunggaluh. Sebagai “jayacihna” (tanda kemenangan), maka Hujunggaluh itu pun dengan resmi diubah menjadi Surabaya (atau nama aslinya dieja Çūrabhaya) oleh Raden Wijaya yang sementara itu menjadi raja pertama Majapahit dan pendiri dinasti baru: Bra Wijaya.
Namun, tanpa sedikit pun mengurangi aspirasi kepahlawanan bangsa dan moyang kita di masa silam, penetapan hari jadi 31 Mei 1293 bagi Kota Surabaya bukan tidak mengandung kelemahan-kelemahan, karena kurangnya data-data yang mendukungnya. Penetapan itu atas dasar hipotesa yang masih harus diuji lagi keotentikannya.
Perihal kepahlawanan Wijaya bersama pengikut-pengikutnya itu sendiri, untuk mengusir musuh-musuh balatentara asing dari Jawa, dengan menunjuk lokasi tempat-tempat atau daerah-daerah yang menjadi kancah perjuangannya di Surabaya sekarang dan sekitarnya, yang ditimbanya dari sumber-sumber otentik seperti prasasti Butak, prasasti Pananggungan, kronik Cina, Nāgarakrtāgama, Pararaton, Kidung Harsawijaya, Kidung Panji Wijayakrama, dan lain-lain, kiranya sudah tidak perlu diragukan lagi. Tetapi bahwa setelah kemenangan Wijaya pada tahun 1293, tepatnya pada tanggal 31 Mei, dengan terusirnya balatentara Tartar dari bumi Jawa melalui Hujunggaluh, lalu kota pelabuhan tua yang termasyhur itu mulai saat itu dengan resmi diubah menjadi Çūrabhaya oleh Wijaya sebagai “jayacihna”, inilah yang masih perlu diuji keotentikannya.
Kelemahan hipotesa 31 Mei 1293 sebagai hari jadi kota Surabaya terutama ialah, bahwa andaikata nama Çūrabhaya sudah diresmikan pada tanggal, bulan, dan tahun tersebut, (tentunya menurut perhitungan penanggalan Saka yang berlaku waktu itu), maka sebutan Çūrabhaya sejak saat itu akan sudah dikenal merata oleh masyarakat umum, dan pastilah menjadi sebutan sehari-hari. Adalah janggal sekali, bahwa literature-literatur sejaman atau sesudahnya, yang mengisahkan kehidupan raja Wijaya atau peristiwa-peristiwa yang langsung menyangkut nama Baginda seperti Kidung Harsawijaya, Panji Wijayakrama, Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, dan Pararaton tidak pernah menuturkannya. Padahal, sebagaimana kita ketahui, literature-literatur semacam itu ditulis demi kepentingan raja (raja-sentris), sedang tempat yang sekarang kita sebut Çūrabhaya itu sangat erat kaitannya dengan kejayaan perjuangan Wijaya, dan yang niscaya akan menambah keharuman dan kebesaran nama baginda. Tetapi dengan tidak disebutkan Çūrabhaya, Surabhaya, atau pun Surabaya dalam literatur-literatur tersebut di atas, juga tidak dalam kronik Cina atau pun inskripsi-inskripsi sekitar tahun 1293 atau sekitar masa kehidupan Raden Wijaya sebagai raja, maka saya cendrung beranggapan, bahwa Surabaya (atau Çūrabhaya) pada sekitar masa-masa tersebut memang belum ada. Baru di abad XIV untuk pertama kali ia disebut-sebut dalam prasasti Trowulan (1358 Masehi) dengan ejaan Çūrabhaya, “Nāgarakrtāgama” (pupuh 17:5) dengan ejaan Surabhaya, dan di abad XV dalam kronik Cina “Ying-yai Sheng-lan” (1416 Masehi).
Secara sepintas dapat kita rumuskan kembali berbagai pendapat dan teori tersebut, sebagai berikut:
- Teori Heyting (Bhayaraja – Singasari, 1270);
- Teori Von Faber (idem dikaitkan dengan dongeng ikan sura dan buaya);
- Teori C.V. (Surapati – Kumpeni, 1705);
- Teori Hageman (Ampel Dhenta, 1483);
- Teori Heru Sukadri (Wijaya – Tartar, 31 Mei 1293, yang diterima dan diresmikan oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Surabaya sebagai hari jadi Surabaya).
Pertama, pendapat Ki Sugerman Atmodihardjo yang dimuat dalam majalah “Penelitian Sedjarah” tahun 1961 nomor ….. tentang asal-usul kota Surabaya, bahwa penelitian asa-usul nama kota (di Indonesia tentunya) hendaknya berpangkal pada falsafah sastra dan bahasa, seirama dengan kebudayaan Indonesia.
Kedua, pendapat L.C.R. Breemen, yang menafsirkan dongeng tentang pertarungan ikan sura dan buaya sebagai lambang “pertarungan abadi” antara laut dan daratan:
….. Zij kan namelijk slaan op den voortdurenden strijd tusschen het water en het land, wordende de dieren als de gebieders op den voorgrond gesteld, in welken strijd te Soerabaja het land inderdaad het water terugdrijft (aanslibbingen aan de mondingen onzer rivieren). De vloed is dan het overschrijden van zijn gebeid door den haai, terwijl de eb weergeeft de terugkomst van den krokodil van zijn strooptocht bovenstrooms; de eb drijft dan het water terug.
Merkwaardig is, dat het word “soero” in zoovele samenstellingen voorkomt. “Soero” moet met haai niets te maken heben in die samenstellingen, al noemt men een haai ook “soero”. De beteekenis is: dapper, strijdvaardig, of moedig.
Met “bojo” heft men een dergelijk geval. Het beteekent: strijd, strijder, held, dapper. Volgens de beteekenissen hierboven weergegeven, beduidt: “Soerowesti”, Dappere Ratu; “Soero – Pringgo”, Dappere Held; “Soero – ing – bojo”, Dappere Strijder.
Daar de “soero”, een dapper dier, op onze reede veel voorkwam en de bevolking hem dus kent, terwijl hetzelfde gezegd kan worden van den “bojo…, lijkt het niet onwaarshijnlijk, dat men voor de legende een, wellicht inderdaad tusschen die beide dieren gevoerd gevecht heft gekozen voor den symbolischen, eeuwigdurenden strijd tusschen land en water, omdat de voorstelling belangwekkender, dus niet zoo spoedig vergeten zou worden. De “soero” en de “bojo” bleken en wat hun hoedanigheden en wat hun namen betreft, geknipt voor de legende.
( ….. Dongeng itu (pertarungan ikan sura dan buaya) dapat mengungkapkan suatu lambang tentang “pertarungan abadi” antara laut dan daratan dengan menampilkan binatang sebagai penguasa kedua wilayah masing-masing, yang di Surabaya memang ditandai dengan mundurnya (garis pantai) laut oleh endapan pasir dan lumpur di muara sungai-sungai kita. Laut pasang naik diibaratkan pelanggaran terhadap wilayah daratan oleh ikan hiu, sedang laut pasang surut mengiaskan direbutnya kembali wilayah tersebut oleh sang buaya.
Menarik sekali ialah, bahwa “sura” sering kita temukan dalam kata-kata gabungan. Dalam kata-kata gabungan itu tentu “sura” tidak ada hubungannya dengan ikan hiu, meskipun ikan hiu dinamakan juga “ikan sura”. Di sini “sura” berarti: gagah berani, pandai berkelahi, ganas.
Dengan “baya” demikian pula halnya. Berarti: pertarungan, pejuang, pahlawan, pemberani. Menurut pengertian-pengertian tersebut di atas, maka “sura-westhi” berarti Ratu Pemberani; “sura-pringga” Pahlawan Pemberani; “sura-ing-baya” Pejuang Pemberani.
Karena (ikan) “sura”, seekor binatang yang pemberani, banyak terdapat di lautan kita, jadi sangat dikenal oleh penduduk, sedang demikian pula dapat dikatakan tentang “baya” (buaya), maka pada hemat saya bukan mustahil orang telah memilih dongeng pertarungan kedua binatang tersebut sebagai lambang pertarungan abadi antara daratan dan lautan, karena gambaran tersebut lebih menarik dan dengan demikian tidak mudah dilupakan. Baik sifat maupun nama mereka, ternyata “sura” dan “baya” cocok sekali untuk dongeng (legenda) tersebut).
Menanggapi dua pendapat tersebut, saya mendukung sepenuhnya pendapat Sugerman itu, tetapi justru karena demikian saya sekaligus juga menolak anggapannya, bahwa dongeng adalah suatu omong kosong yang tidak ada artinya, yang mengandung penertian statis, yang melemahkan, bahkan mematikan semangat kepahlawanan karena tidak memberikan pendidikan kepatriotikan bangsa yang revolusioner, dan sebagainya. Saya cenderung menguatkan pendapat, bahwa dongeng adalah manifestasi kebudayaan Indonesia, falsafah sastra dan bahasa Indonesia, khususnya Jawa. Dongeng Jawa terutama mempunyai kedudukan dan sifat yang khas, yang berbeda sama sekali dengan “sprookjes” atau “fairy tales” di negara-negara barat. Kalau “sprookjes” atau “fairy tales” diciptakan khusus bagi anak kecil, dengan diserasikan terhadap jiwa dan dunia anak-anak, sebaliknya dongeng Jawa berupa “prasemon”, berisikan falsafah, mengandung hikmah dan tamsil ibarat yang tinggi dan dalam, mempunyai maksud-maksud tertentu yang disembunyikan (sinandi).
Jadi dengan demikian, dongeng Jawa sebenarnya bukan lagi suatu konsumsi khusus bagi anak-anak melulu, sekalipun digubah dalam bentuk yang kadang-kadang naïf sekali. Inilah kearifan moyang kita dulu, yang menciptakan dongeng-dongeng itu tanpa batasan umur bagi yang membaca atau mendengarnya. Dan moyang kita itu juga bukan orang asing. Mereka adalah bagian dari masyarakat bangsa kita yang umumnya mistis-filosofis, suka kepada lambang-lambang dan prasemon-prasemon. Oleh karena itu dalam tuangan karya ciptaan mereka, mereka tidak dapat berbuat lain daripada memanifestasikan watak dan alam pikiran masyarakat bangsanya.
Dalam hal ini agaknya Breemen, juga Von Faber, cukup menyadari, dan karenanya lebih cermat menyelami watak dan alam pikiran bangsa kita, dan menganggap bahwa dongeng sama sekali bukan sesuatu yang naïf, yang statis, yang tidak mengandung pendidikan moral, mental, semangat, ya, pendek kata bukan hanya omong kosong belaka.
Pertarungan ikan sura dan buaya memang adalah sebuah dongeng, sebuah legenda, fabel, atau mitos, atau apa pun namanya, tetapi oleh Breemen ditelaah dan dikaji landasan riil dan sejarah yang melatarbelakanginya, digali dan dicari yang tersirat dan hubungannya dengan kota Surabaya.
Tetapi perbedaan pokok antara dongeng Sura-Baya hasil kajian Breemen dan mitos Çūrabhaya dalam karangan ini ialah, bahwa Breemen menganggap dongeng Sura-Baya sebagai simbolisasi kota Surabaya, atau tepatnya proses pasang surut air laut di muara sungai-sungai di Surabaya, sedang karangan ini sebaliknya mencari asal mula terjadinya kota Surabaya, yang motivasinya bersumber dari mitos ikan hiu dan buaya. Dengan menemukan motivasi itu diharapkan pula akan menemukan ancar-ancar data kapan terjadinya kota Surabaya. ***
Source:
• Soenarto Timoer, Menjelajahi Jaman Bahari Indonesia Mitos Çūrabhaya Cerita Rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya, Jakarta:PN. Balai Pustaka. Hal.13 -21.
Add your Comment Hide comment