-->

Sejarah Bangunan Masjid Agung Demak


Sejarah Bangunan Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak adalah Masjid tertua di Pulau Jawa dan didirikan oleh para Wali Songo dan merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak. Bangunan Masjid ini memiliki nilai historis seni berarsitektur tradisional khas Jawa. Maka oleh masyarakat dijadikan wisata bernilai religius yang bisa dikunjungi.

Atap dari Masjid Agung Demak dibentuk limas piramida yang di gagas oleh para wali untuk menunjukkan Aqidah Islamiyah yaitu, Iman, Islam dan Ihsan. Di dalam Masjid ini bisa ditemui “Pintu Bledeg”, bertuliskan kalimat “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, yang bermakna tahun 1388 Saka atau 887 H atau 1466 M.

Wali Songo bersama Raden Patah mendirikan masjid Agung ini dengan memberikan gambar berupa bulus yang merupakan candra sengkala memet (Sarira Sunyi Kiblating Gusti) yang maknyanya pada tahun 1401 Saka. Gambar bulus ini mempunyai kepala yang mengartikan angka 1, kemudian ada simbol 4 kaki berarti angka 4, badan bulus mengartikan angka 0 dan ekor bulus berarti angka 1. Dari simbol inilah Masjid Agung Demak diperkirakan berdiri tanggal 1 Shofar tahun 1401 Saka.

Di serambi masjid Agung Demak terdapat delapan buah soko dari Majapahit. Benda ini dihadiahi oleh Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi kepada Raden Fattah saat menjadi Adipati Notoprojo Glagahwangi Bintoro Demak pada tahun1475 M.

Pawestren atau tempat shalat untuk wanita ini dibuat menggunakan konstruksi kayu jati dengan atap limasan sirap (genteng dari kayu). Pawestren sendiri dibuat pada zaman K.R.M.A. Arya Purbaningrat, yang dilihat dari bentuk dan juga motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang berarti pada tahun 1866 M. Pawestren dibangun dan ditopang oleh 8 tiang penyangga yang diantaranya 4 berhiaskan ukiran bermotif Majapahit. Luas lantainya membujur ke arah kiblat yang memiliki ukuran 15 x 7,30 m.

Surya Majapahit di tafsirkan oleh para ahli purbakala sebagai lambang Kerajaan Majapahit yang dibuat tahun 1401 Saka/ 1479 M. Terdapat gambar hiasan berbentuk segi 8 yang sangat populer pada masa Kerajaan Majapahit. Maksurah telah mendominasi keindahan dari ruangan dalam Masjid, Maksurah juga merupakan artefak bangunan berukir peninggalan Majapahit yang memiliki nilai estetika unik dan indah.

Di dalam Artefak Maksurah terlihat ukiran bertuliskan kalimat arab yang menginfomasikan bahwa memulyakan ke-Esa-an Tuhan Allah SWT. Prasasti Maksurah menyebutkan angka 1287 H atau 1866 M, yang di saat itu K.R.M.A. Aryo Purbaningrat menjabat sebagai Adipati Demak.

Pintu Bledheg adalah pintu yang diciptakan oleh Ki Ageng Selo pada zaman Wali yang bertujuan untuk menangkal petir. Pintu Bledheg ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berarti Nogo Mulat Saliro Wani, pada tahun 1388 Saka/ 1466 M, atau 887 H.

Mihrab atau tempat pengimaman shalat, yang didalamnya terdapat gambar bulus peninggalan prasasti “Condro Sengkolo” yang mempunyai arti “Sariro Sunyi Kiblating Gusti”, bermakna pada tahun 1401 Saka/ 1479 M. Di depan Mihrab ada Dampar Kencono warisan Majapahit yang digunakan untuk ber-khotbah. Dampar Kencana peninggalan Majapahit pada abad XV yang dihadiahkan kepada Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahandanya Prabu Brawijaya ke-V Raden Kertabumi. Saat itu tahta Kasultanan Demak dipimpin oleh Raden Trenggono pada tahun 1521 sampai 1560 M.

Soko Tatal atau Soko Guru adalah tiang utama penyangga masjid yang bersusun tiga. Tiang ini berjumlah 4 yang masing-masing soko memiliki tinggi 1630 cm. Tata letak empat soko guru tersebut dirancang pada empat penjuru mata angin, di barat laut didirikan oleh Sunan Bonang, barat daya didirikan oleh Sunan Gunung Jati, tenggara didirikan oleh Sunan Ampel dan di timur laut karya Raden Syahid (Sunan Kalijaga). Masyarakat setempat menamakan tiang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga sebagai Soko Tatal.

Kolam Wudlu dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak yang digunakan untuk berwhudlu. Meskipun Kolam Wudhu tidak lagi digunakan, namun situs ini masih berada ditempatnya hingga sekarang.

Menara adzan dibangun pada abad XX yang diprakarsai oleh para Ulama, seperti KH. Abdurrahman, R. Danoewijoto, H.Aboebakar, H. Moh Taslim, dan H. Moechsin sebagai tuntunan perkembangan zaman.


Comment Policy : Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.

Add your Comment Hide comment

Disqus Comments